Laman

Selasa, 10 Maret 2015

Suami Pilihan Suamiku

Panorama senja di Oia, desa cantik di utara Pulau Santorini, terasa mencekam.

Matahari yang seperti malu-malu bergulir di bibir cakrawala, disaksikan ratusan pasang mata permukaan laut. Seolah-olah tak pernah bosan merangkul matahari, laut yang membiru turquoise di bawah sana menanti dengan sabar.

Detik demi detik, menit berganti menit, perlahan-lahan laut mulai menghitam. Sementara warna jingga menebar di angkasa dan permukaan laut, ibarat kuas sang pelukis yang mengabdikan keindahan alam di atas kanvas.

Laut yang tenang tak beriak, dengan permukaan menghitam disaput tebaran jingga, seperti lukisan raksasa yang terhampar di bawah sana. Sementara ratusan mata dengan sabar mengikuti perjalanan waktu.

Riuhnya suasana manusia yang tampak demikian dahaga memuja keindahan alam, ditingkahi embusan asap daging bakar dari restoran di bawah sana, seperti tak mampu mencegah bergulirnya sang surya ke dalam rengkuhan laut. Tak mampu mengusir nuansa magis yang dicetuskannya.

Sedikit emi sedikit, perlahan tapi pasti, bola jingga terbenam. Ruas cahaya terakhir yang dipancarkannya membiaskan sapuan jingga ke langit. Menciptakan panorama yang memancing desah kekaguman.

Pukul delapan lewat enam menit, laut mendekap erat sang surya dalam pelukannya. Menyisakan warna jingga yang lembut di atas air yang menghitam. 

Kilatan blitz menyambar dari sana-sini. Mengabdikan panorama senja paling legendaris di Santorini.

Sementara di atas benteng tua jauh di sebelah kiri sana, berpasang insan saling merangkul. Bibir mereka bertaut mesra. Ibarat laut memagut matahari di batas cakrawala.

Di sebelah kanan, kincir angin yang tegak dengan kokohnya, laksana saksi zaman yang tak lekang oleh waktu, tak lapuk oleh cuaca. Tetap bertahan abadi sebagai saksi bisu kemesraan yang tiap hari dilukiskan laut dan matahari.

Di atas tembok berlumut di seberang cakrawala, tinggi menggantung di atas permukaan laut, Kezia membenakan tubbuhnya dalam rengkuhan mesra suaminya. Sementara bibir Darius menjelajahi waja istrinya. dan berhenti di bibirnya yang mengulas madu.

Dalam naungan cuaca yang mulai meredup, ketika kegelapan yang samar mulai menyapa, mereka berpelukan makin erat. Seolah meniru matahari yang tenggelam dalam rangkulan laut. Dan tidak melepaskannya lagi kendati malam mulai menjelang.

" Seperti matahari dalam pelukan laut," bisik Kezia terharu. " Kita tidak akan saling melepaskan apa pun yang akan terjadi."

Lalu dia melepaskan ciumannya. Dan memandang wajah istrinya dengan penuh kasih sayang.

Kendati kegelapan mulai menyapa, wajah istrinya tetap secantik Aphrodite. Rambutanya yang tergerai bebas melewati bahu, kusut dibelai angin senja, menebarkan keharuman yang menggoda. Sementara desah napasnya yang hangat, aroma tubuhnya yang semerbak, membuatnya tak pernah bosan walaupun hampir tiap malam mereka telah bergemilang dalam madu cinta.

Darius tidak ingin kehilangan Kezia. Kalau boleh memilih, dia ingin berada di samping istrinya untuk selama-lamanya.

Namun dorongan gelombongan cinta yang demikian besar, memaksanya meraih pilihan lain. Karena dia sadar, cinta selalu memberi. Bukan meminta.Menuntut. Menguasai.

" Ada seorang laki-laki yang akan datang menggantikanku, Sayang" bisiknya lembut di antara desau angin yang menerpa. " Aku berjanji akan mengirimkannya untukmu. Untuk mendampingimu. Mencintaimu. Seorang laki-laki yang sempurna. Yang disediakan Tuhan untukmu."

"Tidak, "Kezia menggelengkan kepalanya sambil menggigit bibir menahan tangis. "Tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan tempatmu di hatiku."

Darius menaruh seraut wajah istrinya di antara kedua belah telapak tangannya. Selah-olah dia menimang sebentuk piala emas yang sangat berharga.

" Dia akan terbit seperti matahari esok pagi," gumamnya halus. "Setelah malam yang gelap, dia akan merekah di bibir cakrawala. Begitu kamu melihatnya, kamu tahu aku yang mengirimkannya untukmu."