Laman

Sabtu, 03 Maret 2018

Ketika nafkah suami tidak mencukupi

Sabtu,03 Maret 2018

Ketika Nafkah Suami Tidak Mencukupi : Tafsir QS. Al Ahzab 28-29

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar”

(QS.Al Ahzab.28-29)

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad,Imam Muslim, An Nasa’i dari Jabir bahwa ayat diatas diturunkan berkenaan para istri Nabi saw yang menuntut suatu hal berupa harta dan nafkah sedang Nabi saw tidak memilikinya.

          Suatu ketika dimasa selepas perang Hunain, para sitri-istri Nabi saw merasa sudah tidak sabar atas sempitnya nafkah yang diberikan oleh Rasulullah saw. Selain mereka tidak sabar atas nafkah yang tergolong pas-pasan, mereka juga tergoda untuk bisa memiliki perhiasan yang indah agar bisa mereka pakai. Namun tuntunan mereka tidak bisa dipenuhi oleh Rasulullah saw sebab beliau tidak memiliki sesuatu yang mereka tuntut.

          Sehingga peristiwa itu diketahui oleh Umar ra dan Abu Bakar ra, sehingga mereka selaku orang tua dari istri-istri Nabi menghampiri untuk menasehati mereka atas sikap kurang terpuji mereka. Umar menghampiri Hafzah anaknya yang juga istri Nabi saw dan Abu Bakar mendatangi Aisyah anaknya yang juga istri Nabi saw.

          Abu bakar dan Umar bertanya kepada anak mereka bahwa : “Wahai kalian semua, apakah kalian menuntut apa-apa yang suami kalian(Rasulullah saw) tidak memilikinya?”. Maka atas peristiwa itu turunlah ayat Al Ahzab 28-29 tersebut. Allah swt menurunkan ayat itu sebagai petunjuk kepada Rasulullah saw dalam menyikapi istri-istri beliau.

          Sehingga Rasulullah saw pun memberikan dua pilihan kepada istri-istrinya bahwa, apakah yang hendak mereka inginkan ; jika kehidupan dunia yang kalian inginkan, maka aku tidak bisa memenuhinya sebab aku tidak memilikinya. Maka dari itu aku ceraikan saja kalian jika kalian sudah tidak sabar menjadi istri-istriku dan aku berikan kalian mutah (uang penggembira sebab perceraian) dengan cara yang dibenarkan Allah. Namun jika kalian masih sabar menjadi istri-istriku meski aku tidak bisa memenuhi tuntutan kalian oleh sebab aku tidak memilikinya. Aku berharap Allah meridhoi kalian sebab sikap kalian yang sabar, baik dan mengutamakan keridohan Allah dan Rasul-Nya. Dan kelak Allah akan mengganjar surga atas kesabaran dan kesetiaan kalian.

          Maka seketika itu pula Abu Bakar bertanya kepada Aisyah selaku salah satu istri Nabi yang ikut menuntut kepada Rasulullah saw. Sekonyong-konyong Aisyah berkata dengan penuh rasa penyesalan sebab mendapat teguran dari Allah swt. Aisyah berkata : “ sudah aku tetapkan bahwa aku lebih memilih-keridhoan- Allah dan Rasul-Nya dari pada kehidupan dunia”.

          Akhirnya para istri Nabi tersadar akan sikap mereka, mereka merasa bersalah sebab berlaku dzalim atas suami mereka. Yaitu menuntut sesuatu yang tidak sanggup dipenuhi, dan terlena oleh kehidupan dunia yang sementara. Dan juga oleh sebab ketidak sabaran mereka dalam menyikapi nafkah yang diberikan Rasulullah saw yang tergolong pas-pasan. (lihat : Tafsir Al Qurtubi,Juz XIV,hlm.162-163)

          Dalam konteks al-Qur’an menggambarkan akan istri-istri Nabi saw dalam mencari keridhoan Allah dan Rasul-Nya serta negeri akhirat (surga). Namun dalam hal kekinian, dapat dipahami bahwa seorang istri (pada umunya) hendaklah lebih mencari keridhoan suami dan Allah swt ketimbang kesenangan dan ketenangan hidup di dunia. Sebab dalam ridho suami ada ridho Allah dan jaminan kehidupan akhirat yang baik (surga).

          Ketika seorang suami tidak mampu memenuhi nafkah secara berkecukupan. Maka sikap istri yang baik adalah tidak melihat hasil ikhtiar suami dalam mencari nafkah, melainkan melihat keikhlasan suami dalam mencari nafkah dan juga mampu mensukuri pemberian suami atas hasil ikhtiarnya tersebut. Ingat, manusia itu wajib berikhtiar sedang Allah yang menentukan hasilnya.

          Bila sang suami sudah berikhtiar semaksimal mungkin dalam memenuhi kebutuhan keluarga,namun tetap saja kebutuhan keluarga tidak tercukupi. Maka sang istri janganlah gusar,marah dan kufur atas pemberian suami. Melainkan hendaklah bersabar, bersabar bukan untuk diam dan beraksi bukan untuk menyalahkan suami. Melainkan sabar dengan berdoa agar Allah segera menurunkan rejeki yang lebih kepada suami dan beraksi tidak menyalahkan suami, namun dengan membantu suami. Ini semua adalah untuk kemaslahatan keluarga dan tercukupinya kebutuhan keluarga, sebab maslahat keluarga terbeban kepada seluruh anggotanya.

          Ibnu Hajar al Asqalani berkata bahwa kemaslahatan dan tanggung jawab keluarga dan anak-anak ada ditangan kedua belah pihak (baik suami atau istri). Sebab oleh menikahlah mereka berdua ada dan sepakat dalam menjalani hidup bersama. Meski benar kewajiban itu (nafkah) hanya dibebankan pada suami bukan sang istri.

SIKAP ISTRI KETIKA NAFKAH TIDAK MENCUKUPI

          Adab yang benar dalam menyikapi situasi ini ada dua pilihan yang dimana keduanya bersesuaian dengan garis aturannya Allah swt. Sikap pertama adalah sabar dan yang kedua adalah ikhtiar yang dibenarkan.

          Sabar ketika istri merasa nafkah suami kurang adalah dengan senantiasa setia ,menghargai dan rela menerima kekurangan nafkah suami dengan ikhlas karena Allah. Itu semua ditunjukan demi mencari keridhoan Allah swt dan juga sebagai wujud kesabaran dalam menerimaa cobaan dari Allh swt. Namun selain itu pula kesabaran tidak terlepas akan sikap pasrah semata melainkan harus ada wujud ikhtiar sesuai kemampuan dan fitrah. Wujud ikhtiar istri dalam hal ini adalah berdoa dan turut berikhtiar mencari tambahan penghasilan (yang dibenarkan oleh syariat) demi membantu penghasilan suami yang tidak mencukupi, bila memungkinkan dan mengharsukan.

          Inilah sikap yang arif dan bijak dan memberikan kemaslahatan pada keluarga, dan hendaknya sang sitri jangan pernah sekali-kali menyalahkan masalah. Namun, hendaknya istri yang cerdas dalam menyikapi masalah adalah menyelesaikan masalah atau membenarkan apa-apa yang salah, bukan menyalahkan suatu yang salah atau menambah masalah atas masalah.

          Sikap maedu (menyalahkan) suami bila nafkah suami tidak mencukupi, itu hanya akan menimbulkan masalah baru, entah percekcokan dalam rumah tangga atau lainya. Hal Ini berarti istri yang sedemikian tidak bijak dan kurang cerdas dalam menyikapi masalah dalam rumah tangga. Serta sikap seperti itu menunjukan lemahnya iman dan tipisnya wawasan istri dalam beragama. Sang istri  tidak tahu bahwa kehidupan rumah tangga Rasulullah pun sering dihadapkan pada paceklik rumah tangga. Terlebih rumah tangga manusia biasa yang terkadang terjebak dalam maksiat serta lalai dari agama, rasanya lebih pantas bila menerima cobaan berupa paceklik rumah tangga.

KETIKA ISTRI MENCARI NAFKAH

          Dalam Al Fatawa al-Kubra al-Fiqiyyah Juz IV ,halaman 205. Ibnu Hajar Al Haitsami pernah ditanya tentang seorang istri yang keluar rumah dalam rangka bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Beliau menjawab “Ya Boleh seorang Istri keluar rumah untuk keperluan mencari nafkah jika benar nafkah suami tidak mencukupi”.

          Dan juga Zainudin al Malibari dalam kitabnya Fath al-Mu’min ia menjelaskan bahwa tidak mengapa dan bukanlah istri yangnusyuz(durhaka) bilamana ia keluar rumah dengan untuk bekerja sebab nafkah suaminya tidak lagi mencukupi

          Namun mengenai istri yang turut bekerja ini hendaklah harus hati-hati akan ketentuan syariat, jangan sampai niatan baik dilakukan dengan cara yang salah. Dalam hal ini Syaikh Mustafa al Adawi dalam Jami’ Ahkaamu Nisa’ sudah memberikan penjelasan yang cukup baik dalam memberikan solusi. Yaitu ada beberapa ketentuan yang berlaku ketika istri harus ikut serta mencari nafkah, diantaranya yaitu :

1.     Pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan dalam rumah, karena mengurus rumah adalah pekerjaan wajibnya, sedang pekerjaan luarnya bukan kewajiban baginya, dan sesuatu yang wajib tidak boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak wajib.

2.     Harus dengan izin suaminya, karena istri wajib mentaati suaminya.

3.     Menerapkan adab-adab islami, seperti: Menjaga pandangan, memakai hijab syar’i, tidak memakai wewangian, tidak melembutkan suaranya kepada pria yang bukan mahrom, dll.

4.     Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at wanita, seperti: mengajar, dokter, perawat, penulis artikel, buku, dll.(sesuai fitrah wanita)

5.     Tidak ada ikhtilat (campur baur) di lingkungan kerjanya. Hendaklah ia mencari lingkungan kerja yang khusus wanita, misalnya: Sekolah wanita, perkumpulan wanita, kursus wanita, dll.

6.     Hendaklah mencari dulu pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam rumah. Jika tidak ada, baru cari pekerjaan luar rumah yang khusus di kalangan wanita. Jika tidak ada, maka ia tidak boleh cari pekerjaan luar rumah yang campur antara pria dan wanita, kecuali jika keadaannya darurat atau keadaan sangat mendesak sekali, misalnya suami tidak mampu mencukupi kehidupan keluarganya, atau suaminya sakit, dll. (disarikah dari kitab Jami’ Ahkaamu Nisa’ , Syaikh Mustafa Al Adawi).

          Sungguh islam itu rahmat bagi seluruh alam bila dijalankan dengan benar dan disikapi dengan adil.Allahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar